Suara.com - Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menjalankan program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Menurut dia, sejak program konversi ini dilontarkan pertama kali pada tahun 2000, pemerintah belum mempunyai blue print alias cetak biru.
Padahal, cetak biru bisa menggambarkan kesulitan apa yang akan dihadapi apabila program itu diterapkan. Selain itu, cetak biru juga bisa memberikan solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul.
“Blue print itu kan seperti orang yang akan membangun rumah itu ada sketsanya, nah program konversi bbm ke bbg itu harus punya blue print. Dari blue print itu bisa dilihat identifikasi masalah serta siapa saja yang harus terlibat dalam program itu,” kata Komaidi melalui sambungan telepon kepada suara.com, Rabu (28/5/2014).
Komaidi menambahkan, program konversi bbm ke bbg bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut dia, program ini harus melibatkan lintas kementerian, terutama Kementerian Perindustrian.
“Selama ini kan industri otomotif terkesan enggan melaksanakan program konversi bbm ke bbg karena produk mereka memang dibuat untuk menggunakan bbm. Nah yang seperti ini bisa dicari solusinya apabila sudah ada blue print,” tegasnya.
Ia menambahkan, sejumlah angkutan umum sudah sempat beralih menggunakan bahan bakar gas. Namun, karena tidak ada keseriusan dari pemerintah maka angkutan tersebut kembali menggunakan bbm.
Program konversi bbm ke bbg merupakan upaya pemerintah mengurangi konsumsi bbm subsidi. Namun, program tersebut tidak berjalan. Warga yang sudah beralih menggunakan bbg akhirnya kembali ke bbm karena terbatasnya SPBG.