Suara.com - Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat diminta hati-hati dalam mecabut penyaluran bantuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) rumah tapak berlaku mulai 31 Maret 2015.
"Pemerintah harus mempertimbangkan wilayah untuk mengeluarkan kebijakan tersebut karena tidak semua wilayah perlu didorong untuk bertempat tinggal di rumah vertikal," kata Pengamat Ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho di Jakarta, Jumat (9/5/2014).
Pasalnya, pemerintah nantinya hanya akan memberikan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan bersubsidi untuk rumah susun. Menurut Agus, rumah tapak masih sangat dibutuhkan, terutama di kawasan pinggiran, apalagi di luar Jawa yang lahannya masih tersedia.
"Kecuali di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya dan Bandung, masyarakat memang perlu didorong untuk terbiasa tinggal di rumah vertikal, tetapi di daerah kan masih banyak (tanah) yang luas," katanya.
Karena itu, dia berpendapat, kebijakan tersebut tidak bisa disamaratakan di setiap daerah.
Dari segi ekonomis, lanjut dia, rumah vertikal memang lebih murah dibandingkan dengan rumah tapak, terutama di perkotaan yang hanya mampu dibeli oleh kalangan atas. Dari segi budaya, dia menambahkan, masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama yang di daerah, belum terbiasa dengan tinggal di rumah vertikal.
"Untuk warga yang di Jabodetabek, memang perlu disosialisasikan dari sekarang tapi untuk yang di daerah mereka masih mampu membangun rumah tapak yang sederhana," katanya. (Antara)