Suara.com - Setiap tahun, pemerintah pusat mentransfer dana sekitar Rp 600 triliun ke daerah tiap tahun. Namun, dana sebesar itu belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan di daerah. Kementerian Dalam Negeri menyadari bahwa ada mekanisme pelaksanaan otonomi daerah yang harus ditata kembali, termasuk dalam sistem pemilihan kepala daerah, agar lebih efisien tanpa menghilangkan ruh demokrasi.
Hal ini sejalan dengan tema peringatan HUT Otonomi Daerah tahun 2014 yaitu ‘Dengan Otonomi Daerah, Kita Dukung Pemilu, untuk Menguatkan Tata Kelola Pemerintah Daerah.’ Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan tema ini dipilih untuk mengingatkan daerah agar pemilu parlemen dan pemilu kepala daerah dilakukan serius untuk menghasilkan pemerintahan daerah yang baik agar bisa menghasilkan tata kelola yang baik.
Selama ini menurut Gamawan tata kelola daerah masih buruk karena besarnya kepentingan politik.
“Aparat daerah kan tidak boleh terlibat politik praktis, tapi yang terjadi sebaliknya,” kata Gamawan, dalam siaran pers yang diterima suara.com, Kamis (24/4/2014).
Gamawan mencontohkan sering terjadinya bongkar pasang pejabat-pejabat teknis di daerah oleh kepala daerah sebagai salah satu bentuk dampak pemilu kada yang penuh kepentingan politik. Akibatnya pejabat teknis tidak profesional. Kepentingan politik juga menyebabkan tersedotnya dana untuk daerah untuk kepentingan penguasa.
“Kenapa jalan rusak? Uang habis buat pilkada Pak, untuk dana bansos dana hibah Pak, begitu mereka bilang,” kata Direktur Jendral Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan.
Pembangunan dan pelayanan publik di daerah semakin tidak kebagian jatah dana, karena di banyak daerah alokasi APBD justru digunakan untuk membayar gaji pegawai.
“Belanja aparatur seyogyanya maksimal 40 persen untuk pegawai, sisanya 60% untuk untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik,” tegas Djohermansyah.