Suara.com - Sejumlah warga DKI Jakarta merasa keberatan dengan wacana penetapan tarif monorel yang direncanakan oleh pihak swasta sebesar Rp30.000/orang dibandingkan tarif dari pemerintah yang diusulkan sebesar Rp9.000.
"Saya lebih mendukung tarif yang direncanakan pemerintah dibandingkan pihak swasta. Karena tarif swasta terlalu mahal. Kan, monorel tidak menuju langsung ke tempat tujuan," kata pengguna jasa angkutan umum, Hery di Jakarta, Rabu (23/4/2014).
Selain itu, Hery juga mengatakan bahwa monorel tidak bisa menjadi sebuah solusi kemacetan di DKI, karena banyaknya mobil yang harganya murah, mobil dengan tahun lama juga masih beroperasi, serta belum ada pembatasan unit kendaraan bagi pembeli.
Sementara itu, seorang pengendara mobil pribadi, Sri juga setuju dengan adanya angkutan massal monorel.
"Menurut saya, jika proyek monorel bisa menyerap masyarakat dan dapat membuat pengendara pribadi bisa beralih untuk menggunakan angkutan tersebut, maka subsidi dari Bahan Bakar Minyak dapat dialihkan untuk tarif monorel sehingga bisa menekan harga dari Rp9.000 yang direncanakan Pemprov DKI," imbuhnya.
Menurut Sri, proyek monorel bukanlah yang menjadi hal utama dalam kemacetan di DKI, tetapi karena banyaknya mobil-mobil baru yang membuat macet.
Warga DKI juga mengharapkan proyek monorel bisa terselesaikan dengan cepat dan dapat digunakan penduduk Jakarta. Mereka juga berharap adanya fasilitas yang lebih baik bagi pengguna angkutan massal monorel, seperti tempat duduk yang banyak, ruang bagi wanita dan kapasitas penumpang yang ditentukan dalam satu gerbong.
Peresmian dimulainya proyek pembangunan monorel yang dihadiri oleh Gubernur DKI Joko Widodo pada 15 Oktober 2013 di Tugu 66, Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan, merupakan upaya pemerintah dalam mengatasi kemacetan dan juga sebagai angkutan moda transportasi massal di ibu kota. (Antara)