Suara.com - Kementerian Keuangan masih menunggu standar peraturan pajak penjualan online internasional, sebelum menerapkan besaran tarif. Pasalnya, hingga kini belum ada standar intenasional tentang pajak penjualan online.
“Digital ekonomi menjadi subjek pembahasan di G20. Karena bukan hanya Indonesia yang konsen semua negara di dunia konsen masalah ini. Mungkin kita mulai pembahasan, tapi kita mau liat dulu standar internasionalnya,” terang Wakil Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, seperti dilansir dari laman Kemenkeu.go.id, Rabu (16/4/2014).
Bambang mengatakan perlunya standar ekonomi digital Internasional agar tidak terjadi perebutan wilayah pajak. Bambang mencontohkan, jika ada transaksi online dari Amerika serikat, maka akan terjadi kebingungan untuk pengenaan pajak.
“Pajaknya dikenakan di Indonesia atau di Amerika Serikat atau dikenakan ke pembeli atau penjual. Itu saja sudah panjang. Makanya diselesaikan dulu internasional untuk digital economy,” terangnya.
Bambang mengatakan jika standar ekonomi digital telah dikeluarkan, pemerintah akan mulai menghitung besaran pajak penjualan online. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak membentuk tim perumus mekanisme pungutan pajak yang akan dikenakan terhadap transaksi perdagangan online. Nilai transaksi online di Indonesia pada tahun ini diperkirakan bakal mencapai 770 juta dolar AS (sekitar Rp7,2 triliun).