Suara.com - Indonesia mewaspadai dua tantangan baru ekonomi dunia, yaitu jelang berakhirnya suku bunga murah negara maju, dan dampak pelemahan ekonomi Asia yaitu Cina, Jepang dan India. Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Firmanzah mengatakan, rencana Bank Sentral Amerika untuk menaikkan suku bunga pada tahun depan telah memicu keluarnya dana asing dari Asia.
“Pembalikan modal ke negara maju perlu kita antisipasi bersama karena berdampak kepada nilai tukar rupiah, IHSG, inflasi, cadangan devisa, neraca perdagagan dan neraca pembayaran,” tutur Firmanzah, seperti dilansir dari laman Setkab.go.id, Senin (24/3/2014).
Sebelumnya, Bank Sentral Amerika memangkas kembali stimulus sebesar 10 miliar dollar Amerika dan menjadi 55 miliar dollar Amerika tiap bulannya, serta rencana The Fed menaikkan suku bunga dari 0,25 persen menjadi 1 persen pada akhir 2015 dan 2,25 persen pada 2016 telah menciptakan kepanikan di pasar keuangan global.
Kebijakan Bank Sentral Amerika itu membuat pelaku pasar keuangan panik. Sejumlah mata uang seperti baht Thailand, peso Filipina, yuan Cina, ringgit Malaysia dan won Korea Selatan terdepresiasi cukup tajam terhadap dollar Amerika. Rupiah yang sempat menguat di posisi Rp11.300 kembali turun ke posisi Rp11.400 per dolar Amerika.
Sebenarnya, kata Firmanzah, awal Maret 2014, seiring dengan semakin membaiknya fundamental ekonomi dan stabilnya situasi politik di Asia Tenggara, kepercayaan investor global semakin tinggi.
Ia menunjuk data dari Bloomberg sepanjang dua pekan awal Maret, dimana investor asing mencatatkan pembelian saham di Indonesia, Thailand dan Filipina mencapai 1,6 miliar dolar AS. “Inilah yang berkontribusi pada peningkatan IHSG dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika,” terangnya.
Firmanzah mengatakan, dalam jangka pendek, ekonomi Indonesia 2014-2016 akan disibukkan dengan perumusan kebijakan antisipasi pengurangan dan penghentian Quantitative Easing (QE) III, dan dinaikkannya suku bunga acuan The Fed.