Suara.com - Nasib koperasi-koperasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, ada 60.584 koperasi yang tidak aktif dari keseluruhan 203.701 unit. Hingga akhir Desember 2013, sebanyak 29,74 persen koperasi di Indonesia tidak aktif.
Politisi Partai Golkar Airlangga Hartarto meminta pemerintah menjadikan penanganan permasalahan koperasi sebagai prioritas utama.
“Pemerintah masih terkesan setengah-setengah dalam membangun perkoperasian di Indonesia,” ujarnya, dalam siaran pers, Jumat (14/3/2014).
Airlangga menambahkan, hal itu bisa dilihat dari bentuk bantuan dana dari pemerintah untuk koperasi yang tanpa dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan sistematis. Selama ini segala macam bantuan dari pemerintah untuk koperasi tidak mewajibkan koperasi untuk melaporkan penggunaan dana bantuan tersebut.
Dia juga mengatakan, Sifat bantuannya pun tidak wajib dikembalikan. Ini membuat koperasi menjadi “manja” dan terkesan lemah menghadapi persaingan dengan perusahaan – perusahaan besar.
Dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 2 persen, jauh dibandingkan kontribusi badan usaha milik negara (BUMN) yang sebesar 20 persen. Kontribusi swasta terhadap PDB terbesar, yakni 78 persen, termasuk di dalamnya perusahaan asing.
Dia mengatakan, ketertinggalan koperasi nyata terlihat di sektor perikanan. Semakin sulit menemukan koperasi dan usaha bersama nelayan yang mandiri. Usaha nelayan tumbuh secara individu sehingga rapuh ketika dihadang persoalan rutin, seperti cuaca buruk dan jatuhnya harga jual. Inovasi untuk peningkatan nilai tambah produk perikanan pun sulit dikejar.
Selain itu, Airlangga menambahkan koperasi juga masih lemah di bidang investasi, kepastian hukum usaha perlu ditumbuhkan tidak hanya bagi industri, tetapi juga koperasi dan usaha kecil menengah. Angan-angan Indonesia menjadi negara maju dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi mustahil terwujud jika pembangunan tidak merata dan mengabaikan ekonomi kerakyatan.