Suara.com - Investasi di bursa saham di Libya mungkin dianggap sebagai ide yang absurd, apalagi ketika negara di Afrika Utara itu masih dilanda kekacauan dan tentara masih menjaga lading minyak.
Sejak Muammar Gaddafi jatuh pada 2011, pemerintah Libya masih terus berjuang untuk menegakkan hukum dan mengambil alih control pemerintahan dengan menggunakan senjata.
Namun, meski guncangan politik masih terjadi, pasar saham Libya telah bersiap untuk meluncurkan dana investasi syariah. Otoritas saham berharap pengambil kebijakan bisa menghadirkan transparansi terhadap pasar sehingga bisa mendapat perhatian dari investor.
Aksi jual yang melanda bursa saham Libya telah membuat saham di negara itu menjadi murah. Saham perbankan yang biasanya seharga 20 dolar Amerika kini menjadi 10 dolar Amerika.
Namun, otoritas bursa menilai masih tetap sulit untuk menjual saham di negara yang masih dilanda konflik politik, aksi penembakan dan kelompok garis keras menguasai jalanan di Libya.
“Kami perlu stabilitas,” kata Ahmed Karoud, Direktur Bursa Libya yang luas ruagannya sebesar trading room.
Libya memerlukan rekonstruksi setelah dilanda perang saudara. Anggaran sebesar 55 miliar diaokasikan ntuk membuat bandara baru, universitas dan rumah sakit. Namun, kelumpuhan politik membuat anggara tersebut tidak bisa dicairkan.
Meski begitu, Libya tetaplah negara kaya, yang terletak di cadangan minyak terbesar di Afrika. Sejumlah perusahaan besar Amerika seperti Nike dan Marks & Spencer telah membuka took di distrik yang sama dengan pasar modal.
Bursa saham di Libya masih kecil dengan nilai pasar sekitar 3 miliar dolar Amerika. Bandingkan dengan bursa saham di Kairo dengan nilai pasar 70 miliar dolar Amerika dan Casablanca sebesar 50 miliar dolar Amerika.
Di negara-negara Arab, hanya bursa saham Khartoum dan Damaskus yang punya nilai pasar lebih kecil dibandingkan Libya. Pasar modal di Libya hanya memperdagangkan 11 saham, dua lebih sedikit dibandingkan era Gaddafi, dan sebagian besar saham bank dan perusahana asuransi.
Ketika pemerintah Libya mendirikan bursa saham pada 2007, tujuannya adalah menarik modal asing setelah sempat terisolasi dari dunia luar selama bertahun-tahun. Namun, investor asing masih belum mau untuk menanam uangnya karena masih tingginya korupsi di Libya.
Meski otoritas bursa memperlakukan investor asing sama dengan investor lokal, persentase mereka di bursa hanya sekitar 1,5 persen dari total perdagangan. Salah satu masalah adalah, bank sentra membuat aturan yang menyulitkan transfer mata uang ke luar Libya. “Inilah yang tengah diupayakan oleh otoritas bursa untuk diubah,” kata Karoud.