Suara.com - Setiap tahun, sekitar 100.000 – 110.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi ke non-pertanian. Tingginya jumlah konversi lahan pertanian membuat upaya pemerintah meningkatkan produksi pangan semakin sulit. Anggota Komisi IV DPR Siswono Yudhohusodo mengatakan, keterbatasan lahan pertanian menjadi masalah yang tidak kalah penting dalam meningkatkan produksi pangan.
“Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan juga dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi akan mengalami jalan buntu. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,” kata Siswono dalam keterangan pers, Rabu (12/2/2014).
Selain lahan yang semakin terbatas, kata Siswono, banjir membuat upaya untuk meningkatkan produksi pangan sedikit terhambat. Karena, banyak lahan pertanian yang terendam banjir. Karena itu, Siswono meminta pemerintah lebih serius menangani masalah konversi lahan pertanian ke non-pertanian.
Kementerian Pertanian mencatat, derasnya laju alih fungsi lahan pertanian di berbagai daerah membuat sekitar 100.000 hektar lahan pertanian per tahunnya beralih fungsi menjadi lahan komersial nonpertanian. Sementara kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 40.000 hektar per tahun.
Sementara itu, jumlah rumah tangga (RT) usaha pertanian di Indonesia mengalami penurunan 5,04 juta kepala keluarga dalam kurun waktu 10 tahun. Sensus Pertanian 2003 mencatat terdapat 31,17 juta RT pertanian. Namun, berdasarkan Sensus Pertanian 2013 (ST 2013), jumlah sementara diketahui menjadi 26,13 juta RT.
Setiap tahun, rata-rata terjadi penurunan 1,75 persen RT pertanian di Indonesia. Sepuluh tahun silam, 57,48 persen RT usaha pertanian ada di Pulau Jawa. Dari angka tersebut, kini hanya tersisa 51,38 persen.