Atmakusumah Astraatmadja: Situasi Darurat, Pers Indonesia Diobral

Senin, 13 Februari 2017 | 07:00 WIB
Atmakusumah Astraatmadja: Situasi Darurat, Pers Indonesia Diobral
Pencatat sejarah pers Indonesia sekaligus Ketua Dewan Pers pertama, Atmakusumah Astraatmadja. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Media massa di Indonesia kini tengah dihantam merebaknya hoax atau berita bohong. Sehingga media massa tidak lagi dipercaya sebagai mata dan telinga masyarakat.

Hoax kentara sejak setahun lalu, ketika pertarungan politik pemilihan umum kepala daerah di Jakarta berbungkus isu kebencian terhadap agama dan ras. Sasarannya adalah Basuki Tjahaja Purnama yang mencalonkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta.

Bahkan media dituduh partisan terhadap salah satu calon gubernur. Kompas TV dan Metro TV menjadi sasaran empuk massa intoleran yang anti Ahok di demo 2 Desember 2016 atau aksi 212 dan Demo 11 Januari 2017 atau demo 112. Demo kemarin berujung pada aksi kekerasan pada jurnalis Metro TV.

Media massa di Indonesia tak hanya menjadi bisnis industri strategis, melainkan banyak diincar kepentingan politik. Beberapa media terang-terangan berafiliasi kepada partai politik. Di antaranya yang kentara adalah Metro TV yang dimiliki Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, TVone dimiliki mantan Ketua Golkar Aburizal Bakrie, dan MNC Grup dimiliki Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo.

Adanya media partisan sebenarnya bukan hal baru. Di era orde baru dan orde lama, banyak media dimiliki partai atau kelompok tertentu. Pencatat sejarah pers Indonesia sekaligus jurnalis senior Atmakusumah Astraatmadja menilai saat ini kondisi pers Indonesia lebih baik, namun dalam situasi darurat. Pertumbuhan media massa yang pesar tak diikuti dengan kepatuhan wajib kode etik jurnalistik. Redaksi media yang berafiliasi ke parpol sangat sulit independen.

Di sisi lain, banyak luka sejarah pers masa lalu yang belum selesai hingga kini. Salah satunya kontroversi penetpan Hari Pers Nasional (HPN) yang baru dirayakan 9 Febuari pekan lalu. Oleh sebagian komunitas pers, HPN lebih pantas sebagai hajatan Persatuan Wartawan Indonesia. Mengapa demikian? Luka apa saja yang masih mengganjal?

Suara.com menemui Atmakusumah yang sudah sangat sepuh di kediamannya di Cipinang, Jakarta pekan lalu. Dia banyak mengulas soal sejarah pers yang tidak pernah terungkap sebelumnya. Salah satunya soal pembredelan kebebasan pers masa lalu dan keadaan pers saat ini.

Berikut wawancara lengkapnya:

Tak banyak pencatat sejarahwan pers di Indonesia. Anda salah satu yang rajin mengamati peristiwa-peristiwa perjuangan kebebasan pers di Indonesia. Bahkan Anda juga menjadi korban pengekangan pers di era orde baru. Peristiwa apa yang menurut Anda perlu diingat oleh publik tentang kebebasan pers di Indonesia?

Pasca terjadi peristiwa Malari tahun 1974, ada 11 surat kabar di beberapa kota di Jakarta dan daerah dibredel. Ada 14 wartawan yang menurut seorang pejabat departemen penerangan, itu tidak boleh lagi menjadi wartawan.

Ketika saya masuk jadi humas Press assistant dan information specialist pada U.S. Information Service (USIS) di Jakarta yang langsung di bawah presiden AS, ada diplomat Amerika yang ingin tahu pandangan pemerintah ke saya.

Salah seorang diplomat Amerika Serikat bertanya ke Dirjen di Kementerian Penerangan saat itu soal pandangan pemerintah terhadap wartawan-wartawan yang medianya dibredel. Kataya, ada 14 wartawan yag diblacklist dan masuk daftar hitam pemerintah. Saya tanya sama diplomat itu, siapa saja? Tapi tidak dikasih tahu.

Lalu saya tanya, apakah ada dari Harian Indonesia Raya? Katanya, ada 4 orang. Akhirnya saya tanya, apakah Atmakusuma ikut kena blacklist? Iya termasuk, kata dia.

Lalu saya bilang, di Harian Indonesia Raya, saya memang nomor 4. Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi, Enggak Bahau'ddin sebagai wakil pemimpin redaksi, Kustiniyati Mochtar sebagai pemimpin redaksi, dan saya sebagai redaktur pelaksana. Keempat itu diblacklist, makanya tidak pernah bekerja di pers lagi sejak peristiwa Malari.

Bahkan tahun-tahun awal pascaperistiwa Malari, saya menulis di Koran selalu dengan nama samara. Karena tidak ditulis, apakah yang diblacklist itu bisa menulis di media massa atau tidak. Makanya saya pakai nama samaran. Tapi dua tahun kemudian, saya menulis lagi dengan menampilkan nama saya.

Siapa yang mengambil keputusan blacklist ke-14  wartawan itu?

Saya tidak tahu. Karena zaman orde baru, tidak ada yang tahu siapa mengambil keputusan apa. Saya hanya diberitahu oleh staf kedutaan itu. Saya tidak pernah melihat dokumen larangan itu.

Saya cek dengan direkrut jenderal di Kementerian Penerangan, dia selalu menjawab “jangan menyusahkan kami”.

Hal ini luput dari pemberitaan media saat itu.

Di zaman orde baru berkuasa, kalau ada wartawan yang ingin menjadi pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana, harus ada surat izin dari Departemen Penerangan, jadi kutipannya “diperbolehkan untuk menjabat”.

Ketika saya diminta untuk memimpin sebuah majalah ekonomi, kembali pihak Departemen Penerangan mengatakan “jangan menyusahkan kami”. Makanya setelah itu saya sudah tidak masuk di media pers.

Media cyber atau media online menjadi tantangan di era media massa modern saat ini. Dampaknya, muncul banyak informasi hoax atau bohong. Maka Dewan Pers memutuskan membuat aturan baru dengan melakukan verifikasi ketat media massa saat ini. Media akan diberikan semacam barcode atau penanda. Namun ini dikritik sebagai pembredelan gaya baru. Bagaimana pandangan Anda?

Saya melihat ada kritik seolah-olah verifikasi ini seperti mendekati pembatasan gaya orde baru.

Saya menganggap ini situasi darurat. Karena berkembangnya begitu banyak media yang mengaku sebagai pers, padahal isinya bukan pers. Kata pers di Indonesia sangat diobral. Misalnya, para mahasiswa yang menerbitkan media cetak menyebut dirinya sebagai pers kampus.

Saya biasa mengatakan, bukan pers dong. Pers harus independen dan memenuhi standar jurnalistik professional. Kalau media kampus, mana mungkin independen. Karena diterbitkan dengan dana rektorat. Pasti rektor menentukan kebijakan redaksioanalnya. Kecuali diterbitkan di luar universitas.

Sekarang ini, media yang isinya tidak mencerminkan karya jurnalistik pers murni.

Jadi, Dewan Pers hanya sekadar ingin memberikan gambaran ke masyarakatan media komunikasi massa yang memenuhi persyaratan. Media pers dan bukan pers sudah banyak saat saya di Dewan Pers. Dulu waktu saya di Dewan Pers ada 1.000-an.

Saat saya jadi Ketua Dewan Pers, saya ingin memperbanyak pakar untuk mengerjakan banyak pekerjaan. Karena kalau dikerjakan oleh masing-masing anggota dewan pers dan masing-masing sibuk, jadi tidak dikerjakan. Dewan Pers dulu tidak punya dana untuk membayar pakar.

Jadi verifikasi itu memberikan petunjuk. Tapi dikhawatirkan oleh para pengkritik, takut media massa yang belum diberikan ketetapan oleh Dewan Pers sebagai media massa, tidak dibaca orang meski isinya bagus.

Saya kira tidak begitu. Media yang belum mendapat tanda (barcode) oleh Dewan Pers, terus saja jalan. Sepanjang tidak melanggar hukum, tidak masalah.

Pada akhirnya yang menentukan media hidup atau tidak adalah pembaca. Sama dengan televisi dan radio, mereka akan ditinggal pemirsanya kalau tidak sesuai dengan kaidah pers.

Di zaman orde baru, banyak pembredelan, bahkan ANTARA selama 10 hari tidak bekerja. Yang bisa terbit saat itu hanya Harian AB atau Angkatan Bersenjata milik ABRI dan Berita Yuda milik Angkatan Darat. Oplah koran itu besar saat orde baru, karena mendapatkan kontribusi dari pemerintah orde baru. Oplahnya dibeli 30 ribu eksemplar.

Oplah Koran Suara Karya juga dibeli oleh Departemen Penerangan  karena milik Partai Golkar. Koran itu disebarkan gratis ke pegawai negeri. PNS saat itu tidak berani membaca koran selain koran Suara Karya. PNS saat itu hanya berani baca koran langganan mereka di rumah.

Setelah masuk ke reformasi, pemerintah tidak memberikan subsidi. Akhirnya Harian Berita Yuda dan Harian AB mati. Begitu juga Suara Karya.

Bagaimana Anda memandang potret pers saat ini?

Rata-rata memenuhi kode etik jurnalistik. Masyarakat sudah semakin cerdas juga untuk memilih.

Di awal-awal reformasi, pers banyak mendapatkan tekanan dari pihak tertentu. Mereka mendemo karena pers tidak pakai standar kode etik jurnalistik. Kantor media itu sampai didatangi massa. Saat itu Dewan Pers menanganinya dan meminta masyarakat tidak melakukan intimidasi ke pers. Kalau ada berita yang dianggap tak benar, harus lewat jalur klarifikasi.

Sejak saat itu juga Dewan Pers aktif ke Kepolisian dan Kejaksaan untuk kerjasama jika ada kasus yang berhubungan dengan pers, harus diselesaikan lewat UU Pers, bukan pidana. Kami menjelaskan, apa itu kebebasan pers. Di kalangan luar pers, tidak mudah memahami kebebasan pers.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI