T. Djamaluddin: Indonesia Mulai Bangun Luar Angkasa

Senin, 29 Februari 2016 | 07:00 WIB
T. Djamaluddin: Indonesia Mulai Bangun Luar Angkasa
Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - September 2015 lalu, untuk pertama kalinya Indonesia meluncurkan satelit ‘mini’ ke luar angkasa setelah 70 tahun Indonesia merdeka. Kalah jauh di bandingkan India.

Satelit itu diberinama LAPAN A2. Satelit ini dibuat oleh teknisi Indonesia dan bekerjasama dengan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI). Sementara satelit Palapa yang tahun 1976 bukan buatan Indonesia, melainkan buatan Hughes atau Boeing saat ini.

Di zamannya, Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan satelit komunikasi setelah Amerika dan Kanada. Namun kemudian disalip India, bahkan Malaysia yang sudah mempunyai astronot.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin mengatakan sejak tahun lalu, Indonesia baru benar-benar mewujudkan mimpinya membangun luar angkasa. Hasil pengindraan satelit LAPAN A2 itu belum bisa digunakan secara penuh. Makanya, saat ini LAPAN tengah membuat satelit LAPAN A3 yang akan diluncurkan pertengahan tahun ini ke angkasa.

Selama 40 tahun ke depan, kata profesor astronomi itu, Indonesia mulai serius menggaram proyek-proyek pembangunan luar angkasa. Seperti memproduksi satelit, pesawat dan roket. Dalam waktu dekat LAPAN akan memangun bandara luar angkasa untuk peluncuran roket di Indonesia timur.

Namun banyak tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini. Menurut Djamal, sebagai negara besar, Indonesia sudah ketinggalan jauh dari sisi keilmuan luar angkasa. Bahkan kalah dari India yang mempunyai jumlah penduduk miskin tidak kalah dengan Indonesia.

Apa saja tantangan yang dihadapi Indonesia yang mulai menggarap proyek luar angkasa? Lalu sejauhmana peran Indonesia dalam membangun dunia luar angkasa bersama negara lain?

Simak wawancara khusus suara.com dengan Djamaludin di ruang kerjanya pekan lalu:

Indonesia pertama kali membangun dunia antariksanya tahun 1976 dengan peluncuran satelit Palapa. Satelit tersebut Hughes atau Boeing saat ini. Lalu Indonesia membuat satelit sendiri tahun 2012, Lapan A2/Orari. Satelit ini pemantauan permukaan Bumi, identifikasi kapal laut, dan komunikasi radio amatir.‎ Diluncurkan tahun kemarin dengan menumpang India. Mengapa begitu lama untuk membuat satelit sendiri?

Sejarah keantariksaan di Indonesia itu dimulai sejak era 60-an, baru akhirnya ditetapkan berdirinya LAPAN tahun 1963. Kegiatan LAPAN pertama lebih difokuskan ke pembuatan roket dan satelit, ditambah dengan penerbangan. Tapi banyak kendala sebagai negara yang baru berkembang. Pertama masalah anggaran dan kedua masalah sumber daya manusia.

Tahun 1976, Indonesia melalui perusahaan telekomunikasi kemudian membeli satelit komunikasi, SKSD Palapa. Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan satelit komunikasi setelah Amerika dan Kanada. Tahun 1976, LAPAN masih menggeluti pembuatan roket, satelit juga masih dalam tahap wacana. Kemudian fokus pada pengembangan pesawat.

Saat itu juga dimulai dengan pemanfaatan satelit. Jadi sebelum bisa mengembangkan satelitnya, mulai mengembangkan pemanfaatkan data hasil satelit, seperti pengindraan jauh.

Kemudian tahun 2007, kita mulai putuskan kita harus mempercepat pengusaan teknologi satelit dengan bekerjasama dengan Jerman. LAPAN menyediakan anggarannya dan mengirimkan SDM ke sana. Saat itu kita perlu menyiapkan anggaran yang cukup besar untuk menguasai teknologi satelit. Akhirnya engineering kita membuat satelit dengan bimbingan profesor di Jerman.

Biaya sepenuhnya dari LAPAN, dari komponen sampai membayar profesor pembimbing. Satelit LAPAN pertama, A1 diluncurkan di India pada 10 Januari 2010. Bobot satelit ini 57 kg. Total anggaran yang dikeluarkan saat itu Rp35 miliar.

Engineering yang dikirim ke sana, mereka mempersiapkan program satelit generasi berikutnya. Jadi membuat fasilitas pembuatan satelit untuk satelit kelas 100 Kilogram. Mereka membuat LAPAN A2 yang bekerjasama dengan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI). Satelit ini bukan hanya untuk pemantauan tapi juga untuk keperluan radio ORARI.

Bobot satelit ini 70 kg. Biayanya sekitar Rp50 miliar. Teknologi kamera ini lebih baru dan ditambah dengan sensor pemantau otomatis kapal laut. Ada dua kamera pemantauan. Mengambil citra dan video. Selain itu untuk komunikasi radio. Satelit ini diorbitkan di equator dengan kemiringan 6 derajat, melerati Indonesia 14 hari dalam sehari.

Sebenarnya LAPAN A2 siap diluncurkan tahun 2012. Tapi roket India menunggu penyelesaian Astro SAT karena sudah ditentukan akan diluncurkan dengan LAPAN A2 karena di orbit yang sama. Akhirnya bisa diluncurkan September 2015 lalu.

Setelah A2 selesai, saat ini menunggu pembuatan A3 yang bekerjasama dengan IPB. Ini untuk memantau pertanian dan kapal laut. Bobotnya hampir 100 kg. Ditargetkan bisa diluncurkan pertengahan 2016 ke antariksa.

Untuk fungsi, LAPAN A1 sepenuhnya eksperimen. LAPAN A2 ada 20 persen opersional dan data sudah bisa dimanfaatkan. LAPAN A3 bisa dimanfaatkan operasional sampai 40 persen. Aspek operasional itu, data-datanya sudah bisa dipakai.

Mengapa begitu lama? Karena memang SDM LAPAN ini dibatasi dengan aturan formasi pegawai negeri. Kita tidak bisa merekrut begitu saja, karena tergantung anggaran. Untuk teknologi satelit relatif mudah diperoleh karena sebagai teknologi yang disebut teknologi non militer.

Selain itu anggaran kita sangat kecil. Misal lembaga antariksa Cina mempunyai tempat pembuatan satelit seluas 1 kota sehingga disebut space city. Jumlah pegawainya lebih dasri 10 ribu khsus untuk pembuatan satelit.

LAPAN mempunyai tempat pembuatan roket dan satelit di Bogor, bukankah itu luas?

Itu tergolong kecil untuk pembuatan satelit dan sebagainya. Pegawainya juga cuma 50 orang.

Lalu bagaimana untuk mengembangkan dunia antariksa Indonesia dengan keterbatasan itu?

LAPAN bekerjasama dengan BPPT dan industri. Tapi sementara ini dengan BPPT saja. Kami mengembangkan satellite nasional tapi terbentur dari segi biaya. Biayanya ditaksir sampai Rp5 trilun. Itu dipakai untuk 3 fase.

Pertama pengembangan satelit di luar negeri dengan mitra, kemudian kembali ke Indonesia membuat fasilitas pembuatan satelit. Kemudian ketika membuat satelit mandiri di Indonesia. Ini sulit untuk memperoleh anggaran seperti itu. Sementara LAPAN memutuskan ditunda dulu. Kita fokus pada satelit mikro sambil menunggu tambahan anggaran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI