Suara.com - Maraknya peredaran hoax, kabar palsu atau disinformasi, mendorong berbagai pihak melakukan langkah sosialisasi dan antisipasi. Salah satunya adalah seperti yang dilakukan Google News Lab yang bekerjasama dengan First Draft News di Indonesia, beberapa hari lalu.
Mengelar sederet workshop, selain kalangan jurnalis, aktivis "pemberantas hoax" dan pihak-pihak yang peduli pun menjadi sasaran utama kegiatan kali ini. Apa saja yang disampaikan?
Pada intinya, berdasarkan keterangan pembicara workshop yang terdiri dari Irene Jay Liu (News Lab), Flip Prior (First Draft) dan Stephanie Burnett (Storyful), itu adalah bahwa sebenarnya ada banyak tool atau perangkat yang bisa digunakan online. Google, berikut fitur-fiturnya seperti Image Search, Maps dan lain-lain, hanyalah salah satunya.
"Kita (jurnalis) sebenarnya berada di era (informasi) yang luar biasa saat ini, ketika teknologi digital demikian maju, di mana internet berada dalam genggaman hampir semua orang hingga pengguna media sosial pun luar biasa banyaknya," tutur Jay Liu dalam salah satu sesinya, Jumat (5/5/2017) di Jakarta.
Sehubungan kondisi itulah, menurutnya pula, peran jurnalis dalam memastikan produksi dan penyebaran informasi yang benar-benar faktual, menjadi kian penting. Walaupun menurutnya, harus diakui karena dampak persaingan media pula, jurnalis atau perusahaan media sendiri pun kadang bisa terjebak menampilkan informasi yang tidak akurat.
Di bagian lain, Burnett dan Prior pun menjabarkan secara ringkas sejumlah contoh, berikut berbagai tool yang bisa digunakan dalam rangka verifikasi fakta oleh jurnalis. Di antaranya adalah Amnesty DataViewer, Video Vault, serta Izitru (untuk asal usul), juga IntelTechniques, Graph.tips, Follor.me, Followerwonk, Whois.com dan lain-lain untuk menyelidiki latar belakang sumber.
Kemudian ada pula situs atau perangkat pengecekan konteks waktu seperti Wolfram Alpha (terkait cuaca), Geo YouTube atau Exif Data Viewer, serta pengecekan lokasi lewat Google Earth, Yandex Maps, juga Wikimapia dan Naver Maps.
Lalu ada pula sebuah panduan ringkas First Draft berisikan tips ringan pengecekan sebuah foto atau video. Panduan ini disusun dalam bentuk lima pertanyaan, yaitu: apakah foto/video itu versi asli; apakah diketahui siapa yang mengambilnya; apakah diketahui lokasi pengambilan foto/video; apakah diketahui waktu pengambilan foto/video; dan apakah Anda tahu alasan foto/video itu diambil? Setiap jawaban "tidak" akan berarti kode merah (paling meragukan), sementara jawaban lain nilainya akan bergradasi, hingga jawaban "ya" dikategorikan sebagai hijau (paling meyakinkan).
Diketahui, peredaran kabar palsu atau hoax sendiri sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru, bahkan sudah ada jauh sebelum internet muncul. Ketika internet mulai marak dan orang-orang mengenal e-mail, maka wadah itu pun dijadikan sebagai medium penyebarannya.
Dalam hal ini, netizen global bisa merujuk pada beberapa situs yang kemudian didirikan untuk menjadi semacam verifikator --jika bukan penangkal hoax. Salah satu yang cukup terkenal adalah Snopes.com, yang tercatat sudah beroperasi sejak tahun 1990-an lalu. Selain itu, ada pula situs Hoax-Slayer.com yang muncul sejak 2003 lalu.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sejalan dengan peredaran hoax di internet yang juga baru mulai marak di Tanah Air beberapa waktu belakangan, sebenarnya juga sudah muncul upaya-upaya untuk menangkalnya. Salah satu situs yang cukup bisa diandalkan di sini adalah www.turnbackhoax.id, yang di Facebook juga bisa ditemukan lewat nama Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax.
Waspadai Hoax dengan Melakukan Pengecekan Online
Arsito Hidayatullah Suara.Com
Selasa, 16 Mei 2017 | 19:14 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Cek Fakta: Abu Janda Kandidat Pengganti Gus Miftah Sebagai Utusan Khusus Presiden
18 Desember 2024 | 15:59 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI