Tuduhan Penodaan Agama di Zaman Digital Lebih Ganas

Siswanto Suara.Com
Kamis, 13 Juli 2017 | 14:32 WIB
Tuduhan Penodaan Agama di Zaman Digital Lebih Ganas
Coordinator Safenet Damar Juniarto dan Dokter RSUD Kota Solok, Sumatera Barat, Fiera Lovita [suara.com/Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network Damar Juniarto mengatakan tidak pernah menduga kebebasan berekspresi di internet akan menjadi ruang permasalahan baru. Hal in ditandai dengan begitu banyak orang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penodaan agama.

''Saya tidak pernah berpikir sebelumnya, internet yang menjadi ruang tambahan dalam kehidupan akan menjadi ruang permasalahan. Pasal 28 ayat 2 UU ITE, sekarang dapat bermasalah jika membahas tentang agama dan dapat dipidanakan,'' ujar Damar dalam diskusi publik tentang Jerat Pasal Penodaan Agama: Dari Kaesang, Aking, sampai Dokter Otto, di LBH, Jalan Diponegoro nomor. 74, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/7/2017).

Damar mengatakan beragama dan berekspresi merupakan dua hal yang berbeda yang akhirnya menjadi satu keterkaitan. Saat in, ekspresi di internet yang menyinggung agama bisa dipidanakan.

''Beragama dan berekspresi, ekspresi keimanan seseorang harusnya tidak bisa dipidanakan, tetapi dalam perkembangannya seperti tulisan mengenai kafir, tidak wajib haji, atheis, dan sebagainya yang ditulis atau orang yang mengajak orang lain dalam diskusi mengenai hal tersebut dapat dipidanakan. Ketika itu terjadi dalam lingkungan sehari-hari tidak ada permasalahan yang terlihat, tetapi ketika hal tersebut ada dan ditulis di Internet, itu menjadi sebuah kasus hukum karena dianggap adanya penistaan. Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, sekarang jika bahas tentang agama dapat dipidanakan,'' kata dia.

Damar mengatakan dampaknya ruang toleransi terhadap perbedaan keyakinan seseorang menjadi menyempit.

''Untuk melihat kapan kata penistaan itu digunakan, saya punya monitor khusus untuk melihatnya. Toleransi terhadap orang yang berbeda keyakinan dan pelaksanaannya jadi berlebihan melebihi Pasal 156a itu sendiri,'' ujarnya.

Damar menekankan tuduhan melakukan penodaan agama di era sekarang lebih ganas dari sebelumnya.

''Penodaan agama di zaman digital lebih ganas, dan agresif untuk orang-orang mengkasuskan itu. Khawatir kalau terus menerus dibiarkan, kasus penodaan agama yang tidak menggunakan Pasal 156a bisa ganas, karena masih ad pasal lain juga,'' kata dia.

Damar sangat khawatir jika fenomena ini akan terus berlanjut. Orang begitu mudah melapor ke polisi hanya karena tersinggung dengan konten diinternet.

''Internet kan untuk berekspresi, entah unsur menghina karena kesengajaan, rasa marah, kesal, nggak suka biasanya kan ada yang menyampaikan diinternet. Nanti hukuman terjadi karena kasus sepele. Contoh, ada orang yang nggak bisa tidur karena toa masjid sebelah rumah berisik, terus tulis status di Facebook. ya itu kena minimal enam bulan sampai maksimal satu tahun,'' ujar Damar.

Damar menyontohkan kasus Kaesang Pangarep yang dilaporkan, antara lain dengan pasal penodaan agama, karena ada yang tersinggung dengan konten video blog Youtube.

''Kaesang kena pasal kan karena menggunakan media youtube, berekspresi lewat video blog, karena itu dia dianggap melakukan penodaan agama. Dalam video tersebut, ia mengomentari cuplikan video anak-anak kecil yang berteriak bunuh Ahok dan kita tau kan siapa yang menggerakan pawai itu, jadi aduan hukum. Lalu, persoalan yang semakin lama jadinya semakin melebar karena komentar tersebut,'' ujarnya.

Pasal tentang penodaan agama, kata dia, membuat masyarakat takut untuk berekspresi.

''Berekspresi membuat seseorang untuk berada di dalam penjara. Orang dikekang untuk berekspresi. Padahal, ekspresi itu merupakan bagian dari demokrasi,'' kata dia. [Sarah Andinie]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI