Fenomena Zaman Sekarang, Tak Suka Orang Gampang Lapor Polisi

Siswanto Suara.Com
Kamis, 13 Juli 2017 | 13:30 WIB
Fenomena Zaman Sekarang, Tak Suka Orang Gampang Lapor Polisi
Rumadi Ahmad [suara.com/Sarah Andinie]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad mengatakan ruang toleransi dewasa ini semakin menyempit. Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penodaan agama begitu mudah dipakai untuk mempolisikan orang lain yang berpikir kritis tentang agama atau berbeda pendapat di media sosial.

''Soal yang dulu tidak dipersoalkan sekarang dipersoalkan menjadi persoalan hukum, kayak hal yang dulu dianggap sebagai guyonan, usil, jadi dihukum. Hukumnya juga bukan hukum main-main, hukumannya serius , dicap penodaan agama. Itu termasuk hukuman berat, karena kan sekali dicap seperti itu, akan dicap seperti itu terus menerus,'' ujar Rumadi di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro, nomor 74, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/7/2017).

Ahli Pasal 156a KUHP yang juga dosen Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta itu kemudian menceritakan pengalaman ketika menjadi saksi meringankan bagi perkara dokter Otto Rajasa di pengadilan. Ihwal kasus Otto dari postingan di Facebook yang berpendapat bahwa ibadah haji dapat dilaksanakan di Jakarta untuk yang tidak mampu.

''Persoalan fenomena ini bukan hanya di masyarakat. Saya mendapatkan pengalaman saat menjadi saksi dokter Otto. Ruang yang menyempit tidak hanya ruang publik, melainkan di pengadilan, dan terlihat dari sisi hakim dan orang yang terlibat, tidak bisa lepas dari atmosfer penyempitan ruang toleransi,'' ujarnya.

''Karena perasaan ketersinggungan dan keresahan. Kalau nggak suka sama orang, apa yang dibuat dan ditulis dengan orang tersebut pasti dianggap menyinggung. Diekspresikan sebagai tindakan melanggar hukum atau kriminal, dan jadi bermasalah,'' Rumadi menambahkan.

Rumadi kemudian menyontohkan kasus putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang dilaporkan Muhammad Hidayat Situmorang, antara lain dengan Pasal 156a, juga karena ketersinggungan.

''Dilihat dari sisi pantas, ya pantas, kan orang bebas berekspresi, dan kalau dilihat dari sisi etis, ya nggak etis orang buat status ini itu, dan jadinya ditarik jadi kriminal yang harus dipersoalkan. Kemungkinan yang seperti ini, ke depan kan akan selalu ada. Apalagi soal kasus Kaesang, dan Pelapor yang merasa tersinggung sebelumnya sudah memiliki persoalan dan masalah. Jadi bukan hanya semata mata persoalan hukum, tapi ada persoalan sosial. Tetapi, hakim tidak melihat hal di luar itu,'' kata dia.

Menurut Rumadi, Intoleransi ini harus dilawan dan tidak boleh dibiarkan, karena Indonesia sebagai Negara Demokratis yang semakin lama akan semakin menguatkan radikalisme dalam beragama dan tidak bisa menerima adanya perbedaan pendapat.

''Meski ruang toleransi menyempit , tetap harus dilawan. Soalnya, kalau dibiarkan, bukan tidak mungkin apa yang dibayangkan mengenai Indonesia negara Demokratis semakin lama akan semakin menguatkan konservatisme atau radikalisme dalam beragama, dan cenderung tidak bisa menerima perbedaan pendapat dan mengkriminalkan orang yang berbeda pendapat dengannya,'' ungkapnya.

Rumadi menjelaskan mengenai kurangnya kepahaman oleh suatu individu, yang membuat ketersinggungan tersebut terjadi.

''Orang yang seperti itu disatu sisi karena pengetahuannya kurang, dan tidak paham. Ungkapan seperti itu akan biasa saja jika orang yang lapang pikirannya, tetapi jika mudah marah dan tersinggung ruang toleransinya dipersempit dgn ketidak tahuan dan kebodohan. Kalau orang yang tidak mengerti dianggap sebagai suatu kebenaran, makanya hal seperti itu harus dilawan, supaya punya sifat tidak mudah tersinggung, dan tidak mudah marah dengan ungkapan yang ada, apalagi dikarenakan ketidaktahuannya,'' tambahnya. [Sarah Andinie]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI