Ketua Lembaga Riset Keamanan Cyber CISSReC ( Communication and Information System Security Research Center), Pratama Persadha, mengatakan bahwa kasus sms ancaman yang menjadikan Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, tidak memiliki dasar yang kuat. Menurutnya, sebuah kasus ancaman memiliki dasar kuat jika memang benar-benar ada indikasi ancaman yang kuat.
"Harus ada bentuk ancaman tertulis, semisal “bila kamu masih jualan di depan toko saya, akan saya sewa preman untuk menghancurkan tokomu”. Ini adalah contoh ancaman yang nyata, karena ada dan akan ada kerugian baik fisik, psikis dan materiil sesuai penjelasan pasal 45B UU ITE 2016. Apalagi bila ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan," kata Pratama saat dihubungi, Suara.com, Kamis (6/7/2017).
Pratama mengatakan kasus kasus SMS dan Whatsapp HT ini harus membuktikan seperti apa kerugian yang dirasakan jaksa Yulianto. Apalagi, menurutnya, isi pesan tersebut dinyatakan untuk pihak kejaksaan secara umum. "Aparat harus melihat hal ini secara menyeluruh. Jangan sampai ke depan pasal 29 UU ITE ini hanya menjadi pasal karet yang bisa digunakan kapan saja untuk apa saja dan kepentingan siapa saja," jelas Pratama.
Baca Juga: Pengamat Nilai Tak Ada Unsur Ancaman Dalam SMS Hary Tanoe
Dengan situasi isi pesan yang sama dari HT kepada jaksa Yulianto, bisa jadi ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat. Seorang pimpinan perusahaan misalnya melakukan pernyataan akan memecat dan memutasi pegawai yang tidak berkinerja baik, bisa dilaporkan ke polisi. Apalagi pernyataan-pernyataan politik dalam kampanye yang menjanjikan pembersihan di sektor-sekto yang dianggap korupsi.
"Jadi sebaiknya aparat kepolisian melihat hal ini lebih jernih, agar tidak terjadi keresahan di masyarakat," tambah Pratama.
Ia menambahkan bahwa amanat dari UU no.11 tahun 2008 tentang ITE maupun UU no.19 tahun 2016 tentang perubahan UU ITE sudah jelas agar pemerintah membuatnya tidak lagi menjadi sebuah momok di masyarakat. Masyarakat bisa menilai apakah SMS dan Whatsapp yang dikirimkan HT tersebut mempunyai unsur ancaman dan menakut-nakuti atau tidak.
Menurutnya, paling sering kasus yang memakai pasal 29 UU ITE adalah pengancaman lewat media sosial. Baik karena masalah utang piutang maupun penyebab yang sepele hanya karena tersinggung. Dalam kasus tersebut tersangka jelas menujukan pesan berbentuk ancaman kepada seseorang, bisa melalui status, komen, media gambar dan video maupun inbox FB messenger.
"Baiknya keberadaan media sosial, media massa dan teknologinya membantu masyarakat mendapatkan info yang jelas dan tidak bersayap. Perlu kearifan dari semua pihak termasuk pemegang otoritas hukum untuk menahan diri. Bila masing-masing pihak dianggap melanggar UU ITE satu sama lain, ini jelas contoh buruk untuk masyarakat umum.
Baca Juga: Polisi Terbitkan Surat Panggilan Kedua Buat Hary Tanoe
Kita berharap pasal 29 jo pasal 49 UU ITE ini tidak menjadi hal yang ditakutkan oleh masyarakat," tutup Pratama.