Suara.com - Koalisi Anti-Persekusi mengecam aksi persekusi, atau tindakan orang-orang atau kelompok tertentu yang sewenang-wenang memburu dan meneror orang, hanya lantaran “status” di media sosial dinilai menghina agama.
"Sesuai Pasal 1 angka 3 UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Jadi, negara harus aktif menghentikan tindakan sewenang-wenang yang menetapkan seseorang bersalah dan melakukan aksi sepihak,” tegas aktivis koalisi, Asep Komarudin di Gedung YLBHI, Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).
Asep meminta polisi tidak mengaktifkan pasal-pasal karet seperti pasal penodaan agama. Apalagi, kalau hal tersebut berdasarkan pada tuduhan sepihak dari kelompok yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
Baca Juga: Masjid dan Muslim Inggris Tolak Salat dan Kuburkan Salman Abedi
Pria yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pers tersebut mengatakan, tindakan persekusi bukanlah hal yang dilakukan secara spontan. Sebab, sekelompok orang telah melakukanya secara sistematis dan memiliki kesamaan pola.
"Untuk itu, negara dalam hal ini Komnas HAM, Kepolisian, harus melakukan investigasi serius atas persekusi yang terjadi dan mengungkap fakta serta aktor di balik persekusi ini," kata Asep.
Asep menjelaskan, pola persekusi yang dilakukan kempok itu terdiri dari sejumlah tahapan. Pertama, adalah menyisiri akun-akun di media sosial yang dianggap menghina agama atau ulama.
Setelahnya, mereka membuka identitas, foto dan alamat kantor atau rumah orang tersebut dan menyebarkannya. Bahkan, Ada yang disertai dengan siar kebencian.
"Lalu menginstruksikan untuk memburu target, dengan melakukan aksi menggruduk ke kantor atau rumah oleh massa. Ada yang disertai ancaman atau kekerasan," katanya.
Baca Juga: Penjahat Sedikit, Belanda Tutup 24 Penjara karena Tak Berpenghuni
Setelah itu, langkah selanjutnya adalah, membawa orang yang disasar ke kantor polisi untuk dilaporkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau pasal 156a KUHP.