Suara.com - Peristiwa pilu terjadi 19 tahun. Ada 4 mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak aparat keamanan dalam demonstrasi. Saat itu mereka menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden pada 12 Mei 1998.
Keempat mahasiswa itu adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher dan dada.
LSM Hak Asasi Manusia, KontraS mencatat ada 1.300 orang tewas dan ratusan perempuan diperkosa dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Bandung, Solo dan beberapa kota besar lain.
"Fakta adanya sekelompok provokator yang memancing massa untuk menjarah, memperhatikan penjarahan tanpa ikut menjarah dan memiliki sistem komunikasi serta 'kekosongan' aparat keamanan kendati kondisi pada saat itu menggambarkan kuatnya indikasi kerusuhan terencana dan terorganisir," kata Badan Pekerja KontraS, Yati Andriyani dalam siaran persnya, Selasa (16/5/2017).
Baca Juga: Wanda Hamidah Geram Kasus Tragedi Trisakti Masih Digantung
Hasil penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dan Komnas HAM telah menyebutkan bahwa terdapat kejahatan kemanusiaan pada kedua peristiwa di atas. Sejak hasil penyelidikan tersebut diserahkan pada Jaksa Agung (tahun 2002 untuk berkas Trisakti, Semanggi I-II dan tahun 2003 untuk berkas Kerusuhan Mei) hingga saat ini, Jaksa Agung menolak untuk menindaklanjuti berkas tersebut ke tingkat penyidikan.
Alasan Jaksa Agung terus berubah-ubah setiap tahunnya. Seperti sumpah penyelidik, kelengkapan bukti dan lain-lain.
"Namun bukannya mengatasi kebuntuan komunikasi dengan Komnas HAM selama ini, Jaksa Agung HM Prasetyo malah mengingkari tupoksinya sebagai penegak hukum, dan sejak 2015 giat membawa penyelesaian kedua kasus melenceng keluar dari hukum dengan membentuk Komite Rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM Berat. Tidak hanya itu, Jokowi bahkan mengangkat Wiranto yang seharusnya bertanggung jawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM berat, termasuk atas Trisakti dan Mei 98 sebagai Pangab saat itu, dalam jajaran kabinetnya sebagai Menko Polhukam," papar Yati lagi.
KontraS menilai sejumlah keputusan diatas telah menujukan sikap pemerintah dalam memandang korban pelanggaran HAM berat masa lalu sebatas konstituen dan tidak memandang pentingnya pemenuhan kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi jaminan tidak berulangnya kekerasan serupa di masa depan.
"Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak berlanjutnya pelanggaran hak atas keadilan, tindakan-tindakan tidak transparan dan melenceng hukum oleh pemerintah atas kasus-kasus masa lalu yang telah memutar balik demokrasi menjadi semakin mundur," kata Yati.
Baca Juga: VIDEO: Mengenang 17 Tahun Tragedi Trisakti
KontraS mendesak Jaksa Agung segera melakukan penyidikan pada tahun ini atas kasus yang telah diselidiki Komnas HAM. Selain itu presiden harus membentuk Komisi Kepresidenan yang berada langsung di bawah presiden dan bertanggungjawab sepenuhnya kepada Presiden.