Suara.com - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Selestinus menilai jaksa membohongi masyarakat terkait pasal alternatif yang dipakai untuk mendakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam perkara dugaan penistaan agama.
"JPU dalam perkara dugaan penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok sebetulnya sedang membohongi dirinya sendiri dan membohongi negara, sekaligus berharap supaya publik bisa terkecoh, karena memilih pasal 156 KUHP untuk menuntut Ahok setelah gagal membuktikan unsur-unsur pasal 156a KUHP," kata Petrus, Jumat (21/4/2017).
Petrus menilai hal tersebut menggambarkan posisi dilematis sekaligus arogansi jaksa.
Petrus mengatakan ketika jaksa membacakan tuntutan, Kamis (20/4/2017), mereka mengakui Ahok tidak berniat menistakan agama atau tidak terbukti melanggar Pasal 156a KUHP. Tetapi, kata Petrus, jaksa tetap menuntut Ahok dengan pasal dakwaan melanggar Pasal 156 KUHP yang menurut Petrus tidak ada hubungan dengan konteks perkara Surat Al Maidah Ayat 51.
"Padahal kalau kita baca rumusan dan unsur-unsur pasal 156a KUHP yang berbunyi : dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Petrus.
Sementara itu, Pasal 156 KUHP berisi: barang siapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500. Artinya, unsur-unsur pada 156 KUHP adalah : barang siapa; di muka umum; menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
"Meskipun rumusan Pasal 156 KUHP terlalu sederhana, namun muatan materi Surat Dakwaan JPU terkait erat dengan konteks Al Maidah 51 sehingga JPU lebih fokus kepada pelanggaran Pasal 156a KUHP yang pembentukannya bertujuan untuk melindungi agama-agama di Indonesia agar tidak dinodakan dan disalahgunakan," katanya.
Dia menjelaskan sejarah lahirnya Pasal 156a KUHP melalui UU Nomor 1/PNPS/1965 dimaksudkan untuk menjerat setiap orang yang melakukan tindak pidana penistaan atau penodaan terhadap agama tertentu. Sebab Pasal 156 KUHP hanya ditujukan pada tindakan penodaan terhadap golongan masyarakat berdasarkan suku, asal usul, warna kulit dan lainnya.
"Dengan demikian maka ketika JPU melihat unsur-ubsur pidana dalam ketentuan Pasal 156a KUHP tidak terpenuhi disertai dengan pernyataan aecara tegas dalam surat tuntutannya sebagai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka seharusnya JPU secara kesatria atas nama negara menanggalkan sikap subyektifnya dan tidak menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP," kata Petrus.
"Karena Pasal 156 KUHP hanya ditujukan kepada perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap suatu golongan masyarakat di luar hal-hal yang menyangkut agama yang secara khusus diatur dalam Pasal 156a KUHP yang lahir pada tahun 1965," Petrus menambahkan.