Geliat Industri Porno, Tak Seindah yang Tampak di Videotron

Ruben Setiawan Suara.Com
Rabu, 05 Oktober 2016 | 19:00 WIB
Geliat Industri Porno, Tak Seindah yang Tampak di Videotron
Saki Kozai, aktris film biru Jepang yang mengungkap sisi hitam industri pornografi Jepang. (AFP)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus kemunculan video porno di sebuah videotron Jakarta Selatan beberapa hari yang lalu masih cukup sering dibahas di media sosial. Sebuah film bikinan Jepang yang muncul di videotron tersebut juga masih jadi bahasan di dunia maya.

Namun, industri film biru di Negeri Sakura tersebut memiliki sisi gelap. Sejumlah aktris yang terjun ke industri tersebut menguak rahasia hitam yang selama ini jarang diketahui orang.

Muda, cantik, dan ingin terkenal, Saki Kozai menyangka ia mendapat tiket menuju popularitas setelah seorang agen pencari bakat menyapanya di sebuah jalanan Tokyo dan menawarinya pekerjaan.

Di usianya yang masih 24 tahun, di saat darah mudanya masih menggelegak, ia dengan mudahnya meneken kontrak kerja dengan agensi yang diperkenalkan kepadanya. Ia yakin benar, bakal dijadikan bintang iklan.

Malang sungguh malang, ternyata itu bukan agensi model. Di hari pertamanya kerja, Kozai baru tahu kalau pekerjaan tersebut ternyata mengharuskannya berhubungan seks di depan kamera.

"Saya tidak bisa menanggalkan pakaian saya. Yang bisa saya lakukan hanyalah menangis," katanya kepada AFP. Menurut pengakuannya, ia tidak bisa lari dari situasinya saat itu.

"Ada sekitar 20 orang di sekitar saya, menunggu. Tidak ada seorang perempuan pun yang bisa mengatakan 'tidak' apabila dikerumuni seperti itu," ujarnya lagi.

Kozai, kini 30, adalah satu dari sekian banyak artis film porno Jepang yang buka suara soal pekerjaan mereka. Mereka mengaku dipaksa bekerja di industri film porno Jepang yang bernilai triliunan Rupiah.

Film biru dijual bebas di Jepang, negara yang cenderung bersikap liberal terhadap pornografi. Kendati demikian, sisi gelap industri tersebut amat jarang dibicarakan, demikian pula dengan hak-hak orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.

Santernya tudingan bahwa para perempuan dipaksa berakting dalam film porno, bahkan tak jarang dalam adegan seks brutal, membuat orang-orang besar di industri tersebut baru-baru ini mengeluarkan semacam permintaan maaf, juga janji untuk melakukan reformasi.

Kejutan ini muncul menyusul penangkapan tiga agen pencari bakat Tokyo yang dituduh memaksa seorang perempuan untuk main 100 film porno.

Seperti halnya Kozai, perempuan yang tidak disebutkan namanya tersebut juga awalnya mengira bakal dijadikan model.

Para kritikus mengatakan, para perekrut menipu para perempuan, termasuk anak-anak, dengan iming-iming popularitas.

Dalam sejumlah kasus lain, para perempuan dicekoki gaya hidup mewah sebelum akhirnya dipaksa berakting di film porno sebagai pembayaran atas utang mereka.

Tidak punya pilihan

Seorang perempuan lain yang diwawancarai AFP mengatakan bahwa ia ditipu oleh agen yang menjanjikan dirinya akan menjadi seorang penyanyi. Ia menandatangani sebuah kontrak yang tidak menyebutkan secara rinci bagaimana pekerjaan sesungguhnya.

"Agensi tersebut selama berbulan-bulan berusaha meyakinkan saya. Saya tidak punya pilihan setelah menandatangani kontrak," kata perempuan berusia 26 tahun itu kepada AFP.

Ia awalnya menolak. Namun, seperti Kozai dan perempuan lainnya, ia akhirnya menyerah dalam tekanan.

"Awalnya, saya bilang saya tidak bisa," tambahnya.

"Namun ketika saya melakukannya, itu amat sakit. Tim produksi tetap tidak mau berhenti," ujarnya.

Kelompok non-profit Lighthouse, yang bekerja melawan perdagangan manusia, mengatakan, 60 aktris yang mencoba lepas dari kontrak sudah menghubungi mereka di semester pertama tahun 2016.

"Dan kami pikir ini hanyalah puncak dari gunung es," kata juru bicara Lighthouse Aiki Segawa.

"Sebagian besar korban merasa bersalah, berpikir bahwa apa yang mereka alami adalah kesalahan mereka sendiri," ujarnya lagi.

Kebanyakan berusia antara 18 hingga 25 tahun, dengan serba sedikit pengetahuan mengenai kontrak hukum. Kasus mereka juga amat sulit dibuktikan dalam persidangan.

"Mereka itu tidak selalu dianiaya dan disekap.. Yang mereka alami lebih kepada mereka ditipu," ujar Segawa.

Kehidupan mereka yang terjebak dalam dunia ini pun tidak bisa dibilang baik-baik saja. Kozai misalnya, ia rutin mengkonsumsi obat penenang untuk meredakan tekanan yang menghimpitnya. Pihak agensi bahkan memutus komunikasi dengan keluarga, setelah berhasil meyakinkannya agar lebih fokus pada pekerjaannya.

"Saya tidak bisa membuat keputusan yang rasional lagi," ujarnya.

Kozai akhirnya keluar dari agensi yang menurutnya mencuci otaknya tersebut. Namun, ia tetap berakting sebagai bintang porno, hanya bedanya kini sebagai aktris lepas.

Organisasi Human Rights Now yang bermarkas di Tokyo merilis daftar tipu muslihat yang dipakai agensi untuk merekrut bintang porno baru.

Salah satunya adalah korban diancam akan dikenakan denda besar apabila hendak memutus kontrak. Mereka juga biasanya ditakut-takuti bakalan kesulitan mencari pekerjaan di luar sana setelah muncul di film porno.

Biasanya para agen pencari bakat juga mendatangi rumah orangtua para korbannya untuk menagih uang denda apabila mereka menolak bekerja. (AFP)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI