Suara.com - Komite Aksi Perempuan (KAP) menilai bahwa secara umum pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla belum mempunyai gagasan kritis, gaya pemerintahan yang minim leadership, mengajak semua orang untuk bekeja dan berhubungan secara harmonis, namun belum merubah sesuatu secara fundamental. Kondisi inilah yang menyebabkan ketimpangan yang berujung pada tidak terselesaikannya persoalan yang menimpa para buruh perempuan.
"Kebijakan pemerintahan Jokowi-Jk yang tidak berpihak pada buruh perempuan dalam setahun ini terjadi ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah atau PP Pengupahan 78/2015 yang berpihak pada pengusaha. Pada saat melakukan aksi untuk menolak PP Pengupahan inipun, 26 aktivis buruh kemudian ditangkap dan sekarang menjadi terdakwa. 4 diantara aktivis buruh yang menjadi terdakwa ini adalah perempuan yang terancam dipenjara," kata Tiasri Wiandani, salah seorang tokoh KAP dalam keterangan resmi, Sabtu (30/4/2016).
Tarik ulur terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mewujudkan kesejahteran sosial dan demokrasi juga masih sebatas janji belaka.
Persoalan yang menimpa para petani Kendeng di Rembang, Jawa Tengah yang melakukan aksi ke istana karena penolakan mereka terhadap pembangunan pabrik semen menunjukkan pemerintahan yang lalai pada hak minoritas. Hal yang sama juga dialami para perempuan dan keluarga nelayan, para buruh migran dan korban-korban penggusuran yang umumnya bekerja sebagai buruh dan pedagang. "Sementara persoalan lainnya menimpa para buruh perempuan jurnalis, perempuan Lesbian, Biseksual, Transgender dan Transeksual (LBT) di Indonesia," tambah Tiasri.
Dian Novita, salah seorang tokoh KAP yang lain menilai pelanggaran Hak Maternitas Perempuan di tempat kerja masih kerap menimpa buruh perempuan. Tetapi bentuk pelanggaran ini masih jarang dilaporkan atau mendapatkan advokasi dari serikat buruh. Salah satu faktornya adalah masih minim kesadaran dan informasi tentang hak-hak maternitas ini terutama dikalangan buruh perempuan sendiri.
"Di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung terdapat kurang lebih 80 perusahaan dari sektor garmen, dan mempekerjakan sekitar 80.000 orang dengan jumlah buruh perempuan mencapai 90%. Tetapi sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui (Laktasi). Ketiadaan ruang laktasi memaksa para Ibu membuang ASI ke toilet, atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja dan merembes kepakaian mereka," jelas Dian.
Pelanggaran hak reproduksi perempuan ini tidak saja terjadi di lingkungan industri, tapi juga di lembaga pemerintahan.Seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Niken dituntut harus menandatangani surat pernyataan tidak akan hamil selama menjadi CPNS. "Tindakan itu tentu saja melanggar hak maternitas perempuan dan menyebabkan praktek diskriminasi berkelanjutan pada CPNS tersebut," jelas Dian.
Raisya Maharani, Koordinator Divisi Perempuan AJI Jakarta yang merupakan bagian dari KAP menyatakan bahwa KAP menuntut pemerintah dan DPR untuk melaksanakan kebijakan dengan standar Hak Asasi Manusia bagi perempuan buruh, karena selama ini pemerintah terbukti memudahkan investasi dan usaha yang berakibat pada peminggiran kesejahteraan ibu dan para buruh perempuan di Indonesia.
Kedua, menyelesaikan persoalan perempuan buruh di Indonesia secara fundamental dengan menggunakan gagasan kritis dan terintegrasi dengan standar Hak Asasi Manusia perempuan seperti The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan tidak melakukan kekerasan dan diskriminasi pada para buruh perempuan Indonesia. Serta memastikan tidak ada lagi prasyarat kerja yang melanggar hak dan mendiskriminasi pekerja perempuan dalam sektor industri bahkan lembaga-lembaga pemerintahan.
Ketiga, menuntut kepada pemerintah untuk meratifikasi konvensi International Labour Organisation (ILO) No.183 tahun 2000 yang menjelaskan standar komprehensif perlindungan hak maternitas, memastikan adanya keputusan bersama tentang perlindungan maternitas diantara 3 kementerian yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Kesehatan
Keempat, mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan melakukan pembahasan sekaligus pengesahan RUU PPRT.
"Kelima, menciptakan perlindungan yang komprehensif bagi perempuan buruh migran melalui Revisi UU No. 39 tahun 2004 dengan mengacu pada Konvensi Migran 90, dan CEDAW, Ratifikasi Konvensi ILO No. 189, serta menghapuskan diskriminasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Migran dengan mencabut Roadmap Zero Domestik Workers," tutup Raisya.
Komite Aksi Perempuan (KAP) terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Arus Pelangi, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Institute Perempuan, JALA PRT, Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migran Care, Konde Institute, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Perempuan Mahardhika, PurpleCode, Solidaritas Perempuan.