Suara.com - Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menilai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tidak teliti.
"Menurut kami (ICW) BPK kurang cermat dalam melakukan pemeriksaan soal Sumber Waras,"ujar Febri kepada Suara.com di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Rabu (20/4/2016).
Menurut Febri, ada tiga alasan mengapa ICW menilai BPK kurang cermat. Yang pertama, menurut Febri, adalah soal presedur penggunaan lahan yang dijadikan bahan acuan. Kata Febri, sudah ada dasar terkait prosedur pengadaan lahan yakni Pasal 121 Perpres No 40 tahun 2014.
"BPK Jakarta tidak mengacu pada hal itu, karena dia tidak mengacu pada pasal itu maka jadi temuan,"ucapnya.
Selain itu, BPK hanya mengacu pada kondisi fisik tanah yang lokasinya dekat dengan Jalan Tomang Utara.
Kata Febri, berdasarkan bukti dokumen sertifikat dan peta zonasi nilai tanah yang dikirim oleh Dirjen Pajak pada Kementerian Keuangan, kepada seluruh Pemerintah daerah di Indonesia, menunjukkan lokasi Rumah Sakit Sumber Waras berada di Jalan Kiyai Tapa.
"Disitu tanah Sumber Waras mengacu pada Jalan Kyai Tapa. Dengan demikian sebenarnya mengacu pada Kiyai Tapa. Harusnya BPK audit itu, tidak berdasarkan fisik tanah dekatnya dengan jalan yang mana," ucapnya.
Alasan kedua, kata Febri, yakni soal perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Febri menuturkan, ada peraturan perundangan-undangan yang mengatur bahwa perhitungan NJOP bukan dilihat dari lokasi kedekatan tanah dengan satu jalan.
"Perhitungan NJOP bukan berdasarkan pada kedekatan fisik tanah dengan satu jalan, tapi berdasarkan dokumen sertifikat tanah, berdasarkan peta zonasi nilai tanah yang diberikan oleh Dirjen Pajak kepada pemerintah daerah," jelas Febri.
Lebih lanjut, ujar Febri, alasan ketiga terkait acuan tentang perencanaan anggaran. Sebelumnya BPK Jakarta menyatakan, pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tidak masuk kategori sebagai program yang layak dibiayai dalam APBD 2014 serta melanggar pasal 163 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006.
Lebih lanjut kata Febri, Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelola anggaran untuk dialihkan ke APBD.
"Soal disposisi gubernur, pada Bapeda itu kan gubernur kan kuasa pengelola anggaran, jadi dia boleh kasih disposisi itu untuk APBD," imbuhnya.
Febri mengatakan, terkait Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Kemendagri sudah mengevaluasi APBD perubahan, terkait anggaran pembelian lahan Sumber Waras dan hanya menyarankan agar penggunaannya sesuai ketentuan yang ada.
"Kemendagri tidak mencoret masalah anggaran itu (pembelian lahan). Jadi kemendagri aja nggak masalah, tapi kok BPK menyatakan melanggar ketentuan Permendagri No 13 tahun 2006," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam laporan BPK DKI, pembelian lahan RS Sumber Waras Jakarta Barat yang dilakukan Pemprov DKI pada tahun 2014 diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp191 miliar. Hal ini diketahui setelah ada selisih harga dengan harga pembelian lahan yang pernah disepakati pihak RS Sumber Waras dengan PT. Ciputra Karya Unggul setahun sebelumnya.
Namun, pada Selasa (19/4/2016), Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui salah satu anggotanya, Benny Kabur Harman, mengatakan, berdasarkan audit BPK, kerugian negara bukan Rp191 miliar seperti informasi yang beredar selama ini, melainkan hanya Rp173 miliar. Hal itu dikatakan Benny usai membahas kasus tersebut dengan BPK di Gedung BPK, Selasa.
"Semula itu temuan BPK DKI, tapi setelah audit investigasi, hasil finalnya Rp 173 miliar," kata Benny di Kantor BPK, Jakarta, Selasa, 19 April 2016.
ICW Ungkap 3 Alasan BPK Tak Cermat Audit Pembelian Sumber Waras
Rabu, 20 April 2016 | 18:38 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Polri Rahasiakan Informasi Pengadaan Gas Air Mata, ICW: Jelas Mengada-ada dan Bertentangan dengan Prinsip Transparansi
17 Januari 2025 | 00:05 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI