Kisah Tom Iljas Diinterogasi dan Intimidasi di Negeri Sendiri

Suwarjono Suara.Com
Jum'at, 16 Oktober 2015 | 19:42 WIB
Kisah Tom Iljas Diinterogasi dan Intimidasi di Negeri Sendiri
kamisan
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kisah ini bukan terjadi di masa orde baru. Namun dialami oleh Tom Iljas (77), salah satu mahasiswa teknik tahun 1960-an yang dikirim oleh Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat untuk melanjutkan studi di luar negeri, namun terhalang kembali ke Tanah Air karena dikaitkan dengan tragedi 30S 1965. Sejak terhalang pulang, Tom Iljas menetap di Swedia dan menjadi warga negara Swedia. Saat ini Tom Iljas menjadi salah satu anggota Diaspora Indonesia di Swedia.

Peristiwa sangat mengejutkan dialami saat berziarah ke makam keluarga, orang tuanya di Sumatera Barat. Ia mendapat perlakuan intimidasi hingga deportasi dari Indonesia, dengan alasan yang sulit dimengerti. Kisahnya seperti tertulis oleh Tom Iljas , Yulia Evina Bhara dan dibenarkan oleh Wendra Rona Putra, dari LBH Padang yang mendampinginya. Berikut penuturan Yulia Evina Bhara yang diterima Suara.com, Jumat (16/10/2015).

Pada 10 Oktober lalu, Yulia Evina Bhara (ebe 33th), Tom Iljas (77th), AI (81th), AK (36th) , AM (41th) dan OP (35th) yang merupakan bagian dari Keluarga Tom Iljas berangkat ke Salido, Painan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Barat untuk tujuan ziarah ke makam keluarga. Perjalanannya sekitar tiga jam dari kota Padang.

Pada 11 Oktober, dengan membawa kamera  foto untuk mendokumentasikan prosesi ziarah keluarga, Kami langsung berziarah ke makam ibunda Tom Iljas yakni alm Siti Mawar di pemakaman Kampung Salido. Selanjutnya mereka meneruskan menuju sebuah lokasi yang diyakini oleh penduduk desa sebagai pemakaman massal tempat di mana ayah Tom Iljas yakni alm Ilyas Raja Bungsu berada. Karena tidak tahu persis lokasi pemakaman massal korban peristiwa 1965 tersebut mereka menghampiri Rumah Bapak U (bekas pemilik tanah) dan Pak A, penduduk lokal yang dianggap mengetahui lokasinya.

 Sampai di lokasi yang diduga tempat di mana Ayah Tom Ilyas dikuburkan massal, AI meminta ijin kepada pemilik tanah yang baru untuk berdoa, Pemilik tanah meminta Ibu AI untuk ijin kepada kepala kampong yang juga sedang ada di tempat itu. Kepala Kampong tidak mengijinkan. Di lokasi tersebut juga tiba-tiba ada kurang lebih 20 orang yang diduga intel memotret dengan kasar seraya mengusir. Kami segera memutuskan pulang dan membatalkan ziarah ke makam Ayah Tom Iljas.

Setelah mengantarkan Pak U dan Pak A lalu rombongan melanjutkan ke Padang. 5 KM dari lokasi tiba-tiba mobil dihadang oleh mobil polisi dengan polisi yang berpakaian preman. Mereka menghadang dengan cara menutup jalan dengan mobil. Kunci mobil kami diambil paksa. Awalnya polisi meminta kami turun dari mobil tapi kami bersikeras tidak mau turun. Selanjutnya polisi mengambil alih setir dan menggeser dengan paksa AM yang sedang di kursi sopir, polisi yang lain masuk dari pintu yang lain. Selanjutnya Kami dibawa ke Polres Pesisir Selatan untuk diinterogasi.

Selama proses interogasi dan dari dokumen yang tertulis, disebutkan bahwa tidak ada pasal yang dikenakan, namun polisi terus menyatakan bahwa rombongan adalah pembuat film dokumenter di Padang dan dimana-mana tentang kekejaman terhadap PKI.  Selama di ruangan interogasi, berganti-ganti polisi, memotret kami dengan blitz dan mengata-ngatai kami artis dan tertawa-tawa kepada Kasat Intel.

Ebe memprotes keras kepada Kasat Intel karena anggotanya memperlakukan Kami seperti penjahat, Namun Kasat intel justru ikut tertawa dan mengatakan bahwa polres ini banyak pendukungnya dan terus membiarkan kami di potret seperti layaknya pencuri yang tertangkap basah. Padahal Kasat Intel di awal menyampaikan bahwa ini adalah proses pengamanan.

 Semua orang diinterogasi. Ibu AI yang berusia 81 tahun pada awalnya hendak diperiksa juga, namun Kami menolak karena kondisi kesehatan mulai menurun akibat keletihan. Ebe juga sempat bersitegang dengan polisi karena pada awalnya ibu AI yang sudah sepuh tidak diberi tempat tidur. Akhirnya polisi membuka kamar di Poliklinik-nya.

Karena keberatan dengan proses hukum yang berlangsung, tidak ada satupun dari rombongan yang bersedia untuk menandatangani BAP, namun polisi mengatakan jika tidak bersedia tanda tangan maka tidak akan dilepas. Akhirnya para pihak yang diperiksa bersedia menandatangani, namun setelah tanda tangan Kami justru mengalami penekanan dan penggeledahan. Mobil kami digeledah, semua barang-barang disita dan dimasukkan ke ruang interogasi. Polisi melakukan teror kepada kami dengan membentak dan menggebrak-gebrak meja. Mereka merampas tas dan membongkar Laptop AK. Karena tidak menemukan apa-apa dan tidak bisa mengoperasikan laptop maka polisi menghentikan mencari-cari data di laptop.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI