Suara.com - Fadli Rahim, pengkritik Bupati Kabupaten Gowa Ichsan Yasin Limpo lewat aplikasi Line dipenjara 8 bulan penjara pekan lalu. Sementara jauh sebelum Fadli, ada Prita Mulyasari yang divonis bebas. Keduanya sama-sama dijerat UU ITE.
Di sepanjang tahun 2014 ada 44 orang yang terjerat Undang-undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu. Tahun 2014 lalu menjadi tahun dengan jumlah korban UU ITE terbanyak.
SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network) adalah LSM jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara, baik organisasi maupun individu, dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia untuk bebas berpendapat. SAFENET melaporkan ancaman pada kebebasan berekspresi online dan mendukung kerja dari para pengguna internet.
SAFENET mencatat kebanyakan mereka dilaporkan dengan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik karena menyatakan pendapat di media sosial atau elektronik. SAFENET mencatat sampai akhir Febuari ini ada 78 kasus UU ITE. Jumlah terbanyak di tahun 2013 dan 2014. Kasus itu tersebar dari Aceh sampai Makassar, yang terbanyak di Pulau Jawa. Sementara pasal yang banyak dilaporkan adalah pasal 27 ayat 3, ada 92 persen. Pasal lainnya yang dilaporkan tentang penistaan agama dan pengancaman.
UU ITE disahkan DPR pada tahun 2008 lalu. Setelah UU disahkan, seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari dilaporkan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang ke polisi pada Agustus 2008. Dia mengeluhkan salah didiagnosis melalui surat pembaca dan e-mail. Keluhan itu kemudian tersebar ke mailing list.
Prita dijerat Pasal 27 ayat 3 serta Pasal 310 UU ITE dan Pasal 311 KUHP. Setelah sempat dipenjara selama 20 hari di Lapas Wanita Tangerang, pada 29 Desember akhirnya Prita dibebaskan PN Tangerang. Prita tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional. Kasus ini menyita perhatian publik lewat gerakan 'Koin untuk Prita'. Di tahun pertama UU ITE disahkan, ada 3 orang yang terjerat.
Aktivis SAFENET, Damar Juniarto mengatakan setelah kasus terjadi peningkatan tren kasus. Jumlahnya terus membengkak pada tahun 2013 dan 2014. Sebelumnya hanya kurang dari 10 kasus pertahun, tahun 2014 lalu sudah 4 kasus dalam 1 bulan.
"Kalau melihat tren, nggak asik. Tahun 2014 ada 44 kasus. Sebulan 4 kasus. Tahun 2008 sampai 2012 itu nggak sampai 10 kasus. Jumlahnya melonjak di 2013 sampai 21 kasus," ujarnya saat ditemui suara.com di kantornya, pekan lalu.
Laporan SAFENET menyebutkan banyak pembuat status Facebook yang dilaporkan ke polisi karena dianggap mencemarkan nama baik di muka umum. Mereka dinilai paling berpotensi dilaporkan atas dasar pelanggaran UU ITE.
"Ada 38 kasus karena memasang status di Facebook. Dan faktanya ini tidak hanya Jakarta yang banyak pengguna internetnya. Daerah lain ada juga. Karena jangkauan internet ini sangat luas," jelas Damar.
Saat ini, menurut Damar, pelanggaran UU ITE tidak hanya mengancam kebebasan orang berekspresi melalui status Facbook atau di tempat umum. Pesan elektronik yang bersifat ranah pribadi (komunikasi antar personal) pun bisa dijerat. Dia mencontohkan chatting Facebook ataupun aplikasi Line.
"Di Facebok kan macam-macam yah. Ada Wall Facebook, page, grup. Grup juga ada 3 macam levelnya, ada public grup, close grup dan secret. Semua bisa (didugat). Bahkan Line bisa. Padahal itu kan seperti WhatsApp, antar bedua atau sekolompok orang dalam bikin grup. Jadi bukan yang cuma dipublik saja. Itu kita baru tahu," jelas dia.
Damar menegaskan UU ITE itu harus direvisi. Usulan itu sudah disetujui DPR untuk masuk Prolegnas DPR 2015. Alasannya ada banyak kejanggalan, terutama pada pasal 27 yang 'memukul rata' kategori pelanggaran.
"Kalau di pasal 310 KUHP Pidana kan jelas, mengungkapkan pendapat di muka umum. Artinya kalau saya antar pribadi, tidak kena. Kalau di pasal 27 ayat 3 itu dipukul rata. Dalam sekian banyak kasus tidak ada pembedaan, mana obrolan pribadi dan mana yang umum. Karena dierat ketika memenuhi unsur transaksi elektronik, dan itu tuh sangat aneh," jelas dia.
Anggota Komisi Informasi DPR, Meutia Viada Hafid mengharapkan pembahasan revisi UU ITE menjadi prioritas utama setelah reses bulan depan. Dia sepakat jika pasal 27 di UU ITE harus dihapus karena dinilainya sebagai pasal karet.
“Iya memang itu harus dihapus. Sudah banyak yang menjadi korban tidak ketidakjelasan. Saya mengajukan agar dihapus saja. Karena sudah ada di KUHP itu aturannya. Lagi pula UU ini kan bukan membatasi hak pernyataan pendapat,” jelas dia.
Tiap Bulan, UU ITE 'Makan Korban' 4 Orang
Pebriansyah Ariefana Suara.Com
Senin, 23 Februari 2015 | 11:55 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Skakmat Nikita Mirzani, Razman Arif Nasution: Pulang Umrah Kok Malah Doain Masuk Penjara
07 November 2024 | 08:00 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI