Suara.com - Kasus balita gizi buruk selama ini dianggap hanya terjadi di daerah tertinggal, terpencil maupun perbatasan.
Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Maluku, Papua Barat memang masih mengemban jajaran empat besar provinsi dengan kasus balita gizi buruk terbanyak di Indonesia menurut Hasil Status Pemantauan Gizi 2016. Tapi faktanya, kasus balita gizi buruk masih terjadi di daerah perkotaan, bahkan tak jauh dari pusat pemerintahan.
Hasil Status Pemantauan Gizi 2016 menunjukkan bahwa prevalensi kasus gizi kurang di Kota Bogor mencapai 7.9 persen, balita pendek 18.3 persen, sangat kurus 0.3 persen, dan kurus 4.6 persen. Yang menjadi ironi adalah kasus balita gizi buruk berada tak jauh dari lokasi dimana Presiden Joko Widodo bermukim.
Kabar mengenai kegiatan blusukan Jokowi ke daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan sudah sering kita dengar. Misi pengentasan gizi buruk turut dibawa presiden ke daerah-daerah tersebut melalui pemberian makanan tambahan (PMT) pada balita gizi buruk, ibu hamil dan anak sekolah.
Adalah balita bernama Muhamad Arif (2 tahun, 4 bulan), penderita gizi buruk yang tinggal bersama ayah, ibu dan kedua kakaknya di sebuah rumah kontrakan berjarak 4 kilometer dari Istana Kepresidenan Bogor. Kondisinya sangat memprihatinkan, berbeda jauh dengan balita seusianya yang banyak menghabiskan waktu untuk bermain.
Arif menjalani sepanjang waktunya dengan tergolek lemah tak berdaya di atas ubin yang beralaskan kasur lapuk. Tubuhnya kurus kering, kakinya tinggal tulang yang terbungkus kulit, dengan bola mata yang agak menjorok ke luar.
Sang Ibu, Cici Nuraeni (36 tahun) mengatakan, kekurangan gizi yang menimpa Arif telah menggerogoti sistem pernapasannya. Ia didiagnosis mengidap tuberkulosis, salah satu penyakit menular yang membutuhkan pengobatan rutin.
“Makannya sedikit, padahal waktu lahir berat badannya bagus 3 kilogram. Saya juga kasih ASI tapi begitu di atas satu tahun terus turun berat badannya,” ujar Ani dengan suara lirih.
Bogor Selatan Terbanyak Gizi Buruk
Apa yang menimpa Arif seakan mengingatkan kita pada peribahasa Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan justru tampak. Ini menunjukkan bahwa PR pemerintah dalam melawan gizi buruk seharusnya bisa dieliminasi mulai dari daerah terdekat dari pusat pemerintahan agar dapat menjadi percontohan bagi kota/kabupaten lainnya.
Merujuk pada laporan Dinas Kesehatan Bogor 2016, kecamatan Bogor Selatan dimana balita Arif tinggal, memang memiliki prevalensi kasus gizi buruk terbanyak di antara wilayah Bogor yakni sebanyak 532 kasus per tahun dibandingkan wilayah Bogor Utara (450 kasus), Bogor Tengah (389 kasus), Tanah Sereal (123 kasus), Bogor Barat (108 kasus), dan Bogor Timur (39 kasus).
Tingginya kasus gizi buruk di daerah Bogor Selatan menimbulkan tanda tanya. Dari segi jumlah penduduk, survei BPS 2014 menyebut bahwa jumlah penduduk di Bogor paling banyak terpusat di Kabupaten Bogor Barat, disusul Tanah Sereal, baru kemudian Kabupaten Bogor Selatan. Namun angka gizi buruk di Bogor Barat dan Tanah Sereal tidak sebombastis yang terjadi di Bogor Selatan.
Ketimpangan sosial ini menjadi ironi, karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2016 Kota Bogor terealisasi sebesar Rp 784,7 miliar atau mencapai 107,79 persen dari target sebesar Rp 728 miliar. Dengan jumlah sebesar itu berarti PAD 2016 mengalami kenaikan sebesar Rp 158,5 miliar bila dibanding dengan PAD 2015 atau naik sekitar 25,2 persen.