Suara.com - Dalam studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian HIV & Aids Unika Atma Jaya, kebijakan pemerintah untuk menutup beberapa tempat lokalisasi di empat kota di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Jayapura tidak menyelesaikan masalah dan malah menyulitkan proses penanggulangan penyebaran HIV di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Pusat Penelitian HIV Aids Unika Atma dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia atau OPSI, Senin (29/5/2017).
"Paska penutupan (lokalisasi) banyak pekerja seks menyebar. Entah sendiri-sendiri atau dengan kelompok-kelompok kecil, pekerja seks masih ada," terang salah satu tim peneliti PPH Atma Jaya, dr. Asti Widihastuti, MHC.
Menurut Asti, kondisi tersebut membuat intervensi program kesehatan pada kelompok pekerja seks dan pelanggannya menjadi semakin sulit.
Baca Juga: Penutupan Lokalisasi di Kotawaringin Tergantung Anggaran
"Pemerintah berharap pembubaran lokalisasi membuat pekerja seks hilang, padahal tidak."
Karena metode penelitian tidak bersifat kuantitatif, Asti mengaku tak bisa memberikan data-data berupa angka pasti mengenai jumlah penyebaran virus HIV paska pembubaran lokalisasi. Meski begitu, tim peneliti memberikan enam masukan kepada pemerintah mengenai hasil yang mereka temui di lapangan.
Pertama, adanya revisi Standar Pelayanan Minimal atau SPM dengan menyebut secara eksplisit pekerja seks sebagai kelompok yang terdampak epidemi HIV Aids.
"Dengan situasi seperti ini, kelompok pekerja seks yang paling rentan dengan penyakit seksual tidak tertangani dengan baik," tambah Asti lagi.
Kedua, mendesak pemerintah daerah yang sudah atau akan melakukan penutupan lokalisasi untuk mempertimbangkan dampak kesehatan bagi masyarakat berdasarkan bukti empirik yang telah dihasilkan oleh berbagai kajian dan data.
Baca Juga: Lelaki 'Jajan' di Lokalisasi Banjarbaru Akan Dipenjara
Ketiga, mendesak Komisi Penanggulangan Aids tingkat daerah untuk melakukan advokasi dan tidak menghambat secara struktural bagi pekerja seks untuk mengakses layanan kesehatan.