Suara.com - Seniman asal Donggala, Sulawesi Tengah, Zulkifly Pagessa mengatakan kota kelahirannya semula dikenal sebagai kota kesenian. Namun hal itu berubah mengingat banyak seniman di sana seperti dirinya hijrah ke daerah lain.
"Ada satu persoalan dengan kota ini (Donggala). Karena sudah banyak yang eksodus atau keluar daerah, ya maklum saja namanya juga kota yang hampir mati. Tapi itulah konsekuensi dari kebijakan politik itu, ada Abdee Slank yang harus ke Jakarta, termasuk saya ke Makasar dan ke Jakarta," kata Zul sapaan akrab Zulkifly kepada suara.com usai acara Sosialisasi Kebijakan Lembaga Sensor Film di Aula Pemkab Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu(11/5/2016).
Kebijakan politik yang dimaksud Zul adalah pemindahan pelabuhan di Donggala ke daerah dekat Palu, yang saat ini bernama pelabuhan Pantoloan. Relokasi itu terjadi pada 1978.
"Ketika tahun 1978 di daerah lain pertumbuhan Bioskop makin menjamur, di Donggala malah mulai hancur," ujarnya. Selain Abdee dan dirinya, Pasha "Ungu" juga termasuk seniman yang meninggalkan kamopung kelahirannya waktu itu.
Meski demikian, Zul bersama para seniman asal Donggala tak mau kampung kelahirannya terus menjadi kota mati. Saat ini, mereka mulai kembali giat menyuburkan Donggala sebagai kota seni.
"Kita sudah mulai giat lagi sejak tahun 2009. Namun, kita lebih pada konteks herritage atau warisan kotanya. Karena pada saat ini, bioskop menjadi sangat penting untuk mendukung pembangunan kota. Apa yang kami lakulan saat ini, kami ingin membawa kembali film itu ke Donggala," ujarnya menjelaskan.
Misi mulia ini, lanjut Zul, juga perlu dukungan dari pemerintah setempat. Tanpa campur tangan pemerintah, apa yang dilakukan kata dia tak berjalan maksimal.
"Kalau kemarin kita sempat memutar kembali film-film lama, yang settingnya pernah diambil di Donggala. Ada Filn Mutiara Khatulistiwa, dan itu dananya dibantu oleh Pemkab semua, semoga ke depannya hal tersebut terwujud," kata Zul.